Minggu, 16 November 2008

Legenda Tuak

. Minggu, 16 November 2008
2 komentar

Pohon Enau dalam bahasa Indonesia disebut pohon aren, dan sugar palm atau gomuti palm dalam bahasa Inggris. Di Sumatera, tumbuhan ini dikenal dengan berbagai sebutan, di antaranya 'nau, hanau, peluluk, biluluk, kabung, juk atau ijuk, dan bagot'. Tumbuhan ini dapat tumbuh dengan baik dan mampu mendatangkan hasil yang melimpah pada daerah-daerah yang tanahnya subur, terutama pada daerah berketinggian antara 500-800 meter di atas permukaan laut, misalnya di Tanah Karo Sumatera Utara.

Tumbuhan enau atau aren dapat menghasilkan banyak hal, yang menjadikannya populer sebagai tanaman serba-guna, setelah tumbuhan kelapa. Salah satunya adalah tuak(nira). Selain sebagai minuman sehari-hari, tuak memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan sosial-budaya bagi sebagian masyarakat Batak di Sumatera Utara, terutama yang tinggal di daerah dataran tinggi.

Dalam tradisi orang Batak, tuak juga digunakan pada upacara-upacara tertentu, seperti upacara manuan ompu-ompu dan manulangi. Pada upacara manuan ompu-ompu, tuak digunakan untuk menyiram beberapa jenis tanaman yang ditanam di atas tambak orang-orang yang sudah bercucu meninggal dunia.

Sementara dalam upacara manulangi, tuak merupakan salah satu jenis bahan sesaji yang mutlak dipersembahkan kepada arwah seseorang yang telah meninggal dunia oleh anak-cucunya. Pertanyaannya adalah kenapa tuak(nira) memiliki fungsi yang amat penting dalam kehidupan sosial-budaya orang Batak?

Menurut cerita, pohon enau merupakan jelmaan dari seorang gadis bernama Beru Sibou. Peristiwa penjelmaan gadis itu diceritakan dalam sebuah cerita rakyat yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Tanah Karo, Sumatera Utara. Cerita itu mengisahkan tentang kesetiaan si Beru kepada abangnya, Tare Iluh. Ia tidak tega melihat penderitaan abangnya yang sedang dipasung oleh penduduk suatu negeri. Oleh karena itu, ia mencoba untuk menolongnya. Apa yang menyebabkan Abangnya, Tare Iluh, dipasung oleh penduduk negeri itu? Bagaimana cara Beru Siboau menolong abangnya?

Alkisah, pada zaman dahulu kala di sebuah desa yang terletak di Tanah Karo, Sumatera Utara, hiduplah sepasang suami-istri bersama dua orang anaknya yang masih kecil. Yang pertama seorang laki-laki bernama Tare Iluh, sedangkan yang kedua seorang perempuan bernama Beru Sibou. Keluarga kecil itu tampak hidup rukun dan bahagia.

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, karena sang suami sebagai kepala rumah tangga meninggal dunia, setelah menderita sakit beberapa lama. Sepeninggal suaminya, sang istri-lah yang harus bekerja keras, membanting tulang setiap hari untuk menghidupi kedua anaknya yang masih kecil. Oleh karena setiap hari bekerja keras, wanita itu pun jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Si Tare dan adik perempuannya yang masih kecil itu, kini menjadi anak yatim piatu. Untungnya, orang tua mereka masih memiliki sanak-saudara dekat. Maka sejak itu, si Tare dan adiknya diasuh oleh bibinya, adik dari ayah mereka.

Waktu terus berjalan. Si Tare Iluh tumbuh menjadi pemuda yang gagah, sedangkan adiknya, Beru Sibou, tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Sebagai seorang pemuda, tentunya Si Tare Iluh sudah mulai berpikiran dewasa. Oleh karena itu, ia memutuskan pergi merantau untuk mencari uang dari hasil keringatnya sendiri, karena ia tidak ingin terus-menerus menjadi beban bagi orang tua asuhnya.

"Adikku, Beru!" demikian si Tare Iluh memanggil adiknya.

"Ada apa, Bang!" jawab Beru.

"Kita sudah lama diasuh dan dihidupi oleh bibi. Kita sekarang sudah dewasa. Aku sebagai anak laki-laki merasa berkewajiban untuk membantu bibi mencari nafkah. Aku ingin pergi merantau untuk mengubah nasib kita. Bagaimana pendapat Adik?" tanya Tare Iluh kepada adiknya.

"Tapi, bagaimana dengan aku, Bang?" Beru balik bertanya.

"Adikku! Kamu di sini saja menemani bibi. Jika aku sudah berhasil mendapat uang yang banyak, aku akan segera kembali menemani adik di sini," bujuk Tare kepada adiknya.

"Baiklah, Bang! Tapi, Abang jangan lupa segera kembali kalau sudah berhasil," kata Beru mengizinkan abangnya, meskipun dengan berat hati.

"Tentu, Adikku!" kata Tare dengan penuh keyakinan.

Keesokan harinya, setelah berpamitan kepada bibi dan adiknya, si Tare Iluh berangkat untuk merantau ke negeri orang. Sepeninggal abangnya, Beru Sibou sangat sedih. Ia merasa telah kehilangan segala-segalanya. Abangnya, Tare Iluh, sebagai saudara satu-satunya yang sejak kecil tidak pernah berpisah pun meninggalkannya. Gadis itu hanya bisa berharap agar abangnya segera kembali dan membawa uang yang banyak.

Sudah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun ia menunggu abangnya, tapi tak kunjung datang jua. Tidak ada kabar tentang keadaan abangnya. Ia tidak tahu apa yang dilakukannya di perantauan. Sementara itu, Tare Iluh di perantauan bukannya mencari pekerjaan yang layak, melainkan berjudi. Ia beranggapan bahwa dengan memenangkan perjudian, ia akan mendapat banyak uang tanpa harus bekerja keras. Tetapi sayangnya, si Tare Iluh hanya sekali menang dalam perjudian itu, yaitu ketika pertama kali main judi. Setelah itu, ia terus mengalami kekalahan, sehingga uang yang sudah sempat terkumpul pada akhirnya habis dijadikan sebagai taruhan. Oleh karena terus berharap bisa menang dalam perjudian, maka ia pun meminjam uang kepada penduduk setempat untuk uang taruhan. Tetapi, lagi-lagi ia mengalami kekalahan.

Tak terasa, hutangnya pun semakin menumpuk dan ia tidak dapat melunasinya. Akibatnya, si Tare Iluh pun dipasung oleh penduduk setempat. Suatu hari, kabar buruk itu sampai ke telinga si Beru Sibou. Ia sangat sedih dan prihatin mendengar keadaan abangnya yang sangat menderita di negeri orang. Dengan bekal secukupnya, ia pun pergi mencari abangnya, meskipun ia tidak tahu di mana negeri itu berada. Sudah berhari-hari si Beru Sibou berjalan kaki tanpa arah dan tujuan dengan menyusuri hutan belantara dan menyebrangi sungai, namun belum juga menemukan abangnya. Suatu ketika, si Beru Sibou bertemu dengan seor ang kakek tua.

"Selamat sore, Kek!"

"Sore, Cucuku!" Ada yang bisa kakek bantu?"

"Iya, Kek! Apakah kakek pernah bertemu dengan abang saya?"

"Siapa nama abangmu?"

"Tare Iluh, Kek!"

"Tare Iluh…? Maaf, Cucuku! Kakek tidak pernah bertemu dengannya. Tapi, sepertinya Kakek pernah mendengar namanya. Kalau tidak salah, ia adalah pemuda yang gemar berjudi."

"Benar, Kek! Saya juga pernah mendengar kabar itu, bahkan ia sekarang dipasung oleh penduduk tempat ia berada sekarang.

Apakah kakek tahu di mana negeri itu?

"Maaf, Cucuku! Kakek juga tidak tahu di mana letak negeri itu. Tapi kalau boleh, Kakek ingin menyarankan sesuatu."

"Apakah saran Kakek itu?"

"Panjatlah sebuah pohon yang tinggi. Setelah sampai di puncak, bernyanyilah sambil memanggil nama abangmu. Barangkali ia bisa mendengarnya. Setelah menyampaikan sarannya, sang Kakek pun segera pergi. Sementara si Beru Sibou, tanpa berpikir panjang lagi, ia segera mencari pohon yang tinggi kemudian memanjatnya hingga ke puncak. Sesampainya di puncak, si Beru Sibou segera bernyanyi dan memanggil-manggil abangnya sambil menangis. Ia juga memohon kepada penduduk negeri yang memasung abangnya agar sudi melepaskannya.

Sudah berjam-jam si Beru Sibou bernyanyi dan berteriak di puncak pohon, namun tak seorang pun yang mendengarnya. Tapi, hal itu tidak membuatnya putus asa. Ia terus bernyanyi dan berteriak hingga kehabisan tenaga. Akhirnya, ia pun segera mengangkat kedua tangannya dan berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa.

"Ya, Tuhan! Tolonglah hambamu ini. Aku bersedia melunasi semua hutang abangku dan merelakan air mata, rambut dan seluruh anggota tubuhku dimanfaatkan untuk kepentingan penduduk negeri yang memasung abangku."

Baru saja kalimat permohonan itu lepas dari mulut si Beru Sibou, tiba-tiba angin bertiup kencang, langit menjadi mendung, hujan deras pun turun dengan lebatnya diikuti suara guntur yang menggelegar. Sesaat kemudian, tubuh si Beru Sibou tiba-tiba menjelma menjadi pohon enau. Air matanya menjelma menjadi tuak atau nira yang berguna sebagai minuman. Rambutnya menjelma menjadi ijuk yang dapat dimanfaatkan untuk atap rumah. Tubuhnya menjelma menjadi pohon enau yang dapat menghasilkan buah kolang-kaling untuk dimanfaatkan sebagai bahan makanan atau minuman.

Demikianlah cerita "Kisah Pohon Enau" dari daerah Sumatera Utara. Hingga kini, masyarakat Tanah Karo meyakini bahwa pohon enau adalah penjelmaan si Beru Sibou. Untuk mengenang peristiwa tersebut, penduduk Tanah Karo pada jaman dahulu setiap ingin menyadap nira, mereka menyanyikan lagu enau.

Cerita di atas termasuk ke dalam cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Di antara pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah memupuk sifat tenggang rasa dan menjunjung tinggi persaudaraan, serta akibat buruk dari suka bermain judi. sifat tenggang rasa. Sifat ini tercermin pada sifat Beru Sibou yang sangat menjunjung tinggi tenggang rasa dan persaudaraan. Ia rela mengorbankan seluruh jiwa dan raganya dengan menjelma menjadi pohon yang dapat dimanfaatkan orang-orang yang telah memasung abangnya. Hal ini dilakukannya demi membebaskan abangnya dari hukuman pasung yang telah menimpa abangnya tersebut. Sifat tenggang rasa dan persaudaran yang tinggi ini patut untuk dijadikan suri teladan dalam kehidupan sehari-hari.



disadur oleh: David Purba

dari berbagai sumber


Klik disini untuk melanjutkan »»

Sejarah Saragih Garingging

.
0 komentar

Setahuku di simalungun kurang mempermasalahkan no urut, tidak seperti saudara kita dari batak toba yang tahu persis no urutnya mulai dari raja batak. Tapi bagi kita sekarang mungkin perlu juga tahu sudah generasi ke berapa kita bila dilihat dari marga kita. Mungkin setiap perlu mencari sejarah marganya masing2.
Tapi untuk sejarah garingging, mungkin cerita berikut perlu dibaca (saya lupa dapat darimana)
Selamat membaca......

Andai kerbau-kerbau dapat bicara, salah satu memoar mereka mungkin akan seperti ini….

"Panggil saya Sinanggalutu. Itu nama saya. Jangan tanya nama itu diambil darimana. Dan jangan tanya kenapa. Jangan tanya bagaimana mulanya. Dan jangan tanya apa artinya. Saya samasekali tak tahu. Saya hanya seekor kerbau. Hidup di tahun 1400-an. Di sebuah wilayah di Simalungun, Sumatera Utara.

Majikan yang empunya saya bernama Pinang Sori. Atau Si Pinang Sori. Ia sangat sayang kepada saya. Ia gembala saya tetapi sekaligus juga sohib. Sepanjang hidup saya kami tidak pernah berpisah. Saya bersamanya ketika ia masih bocah. Dan saya berharap ia tetap setia hingga saya mati nanti (hm… saya tak berani menyebut berpulang. Berpulang hanya untuk manusia, bukan?). Untuk itu lah tulisan ini saya buat. Untuk menceritakan majikan yang menyenangkan itu. Sebagai tanda cinta dan tanda hormat bagi dia yang penyayang dan pemurah.

Majikan saya itu bukan orang sembarangan. Ia putra sulung raja. Ayahnya Raja Aji Nembah. Raja yang berkuasa di Aji Nembah, sebuah tempat di wilayah Tanah Karo.

Pinang Sori atau Tuan Pinang Sori –sebutan formalnya sebagai putra raja-- sejak bocah sudah jadi anak yang rajin. Ia rajin menggembala kerbau. Kerbaunya banyak, tetapi saya lah yang paling ia sayangi. Itu bukan rahasia. Kepada siapa pun ia selalu mengatakan, kerbau kesayangannya adalah saya, Sinanggalutu. Saya lah yang jadi kerbau tunggangannya kemana pun dia pergi. Di kala sedih, tak segan-segan ia menceritakan apa saja yang mengganjal di hatinya. Tak ada yang disembunyikannya dari hadapan saya. Sebab, siapa lagi yang dapat dia percaya?

Bukan sombong atau membanggakan diri. Saya memang kerbau yang istimewa. Paling tidak di mata orang-orang yang pernah melihat saya. Mungkin karena perawakan saya yang besar. Ada yang berkata punggung saya demikian lebarnya sehingga cukup untuk memuat empat orang duduk bersila. Yang lain berkata bekas jejak kaki saya dapat memuat sebutir kelapa. Tetapi dugaan saya, Pinang Sori lebih sayang dan lebih percaya lagi kepada saya karena saya seekor kerbau, yang patuh dan tak pernah membantah keinginannya. Saya kan bukan manusia yang punya intrik dan ambisi, seperti orang-orang di sekitar istana ayahnya?.

Ketika Pinang Sori berusia 10 tahun, sebuah peristiwa terjadi. Ini lah peristiwa yang mengubah sejarah dia, dan juga hidup saya. Peristiwa yang melemparkan kami kepada petualangan besar. Petualangan yang belakangan hari saya yakin akan menciptakan sejarah lahirnya kerajaan baru. Yang lebih besar dan lebih dikenang. Petualangan yang menjadikan saya kerbau istimewa.

Peristiwa itu bermula ketika Pinang Sori berusia 10 tahun. Pada suatu hari, seperti biasa ia melakukan kegemarannya menggembalakan kami, kerbau-kerbaunya ke padang penggembalaan. Dan, kalau sudah begitu, Pinang Sori akan terlihat begitu gembira. Kami bisa merasakan itu. Padang penggembalaan adalah hiburan baginya, sama seperti kami, kerbau-kerbaunya, yang juga menggembirakannya dengan tingkah kami yang dungu-dungu lucu.

Ketika matahari sudah mulai tinggi, Pinang Sori berniat pulang untuk bersantap siang bersama ayahnya di istana. Namun, baru saja ia berberes-beres, seorang hulubalang raja tiba di tempat kami, di padang penggembalaan itu. Hulubalang itu berkata bahwa ia diperintahkan raja untuk menyampaikan pesan agar Pinang Sori meneruskan penggembalaannya ke padang yang lebih jauh lagi. "Raja berkata agar Tuan pergi menggembala lebih jauh lagi, karena beliau ingin bersantap," begitu lah hulubalang itu berkata.

Pinang Sori menurut saja.

Keesokan harinya ketika tiba waktunya makan siang, Pinang Sori kembali bersiap untuk pulang. Namun, kejadian kemarin terulang. Hulubalang muncul dan berkata bahwa raja menginginkan Pinang Sori menggembala lebih jauh, sebab raja ingin bersantap siang.

Kejadian seperti itu terjadi sampai enam kali. Dan, siapa pun di posisi seperti majikan saya pasti akan bertanya-tanya. Kenapa gerangan tiap kali tiba waktu makan siang, ayahnya justru menyuruh dia untuk menggembala lebih jauh lagi? Apakah sang ayah tak menginginkannya menemaninya makan siang? Apakah kehadirannya sudah tak diperlukan?

Saya melihat majikan saya sedih dan kecewa. Berkali-kali ia bertanya kepada saya apa kira-kira maksud ayahnya untuk menyuruhnya pergi lebih jauh lagi. Saya tak bisa menjawabnya. Saya hanya bisa melenguh panjang pertanda turut bersimpati. Terus terang, lika-liku pikiran manusia tak terjangkau oleh pikiran saya. Apalagi ini menyangkut politik istana yang ribet dan berbelit.

Akibat kejadian itu Pinang Sori tak berani pulang. Ia menghabiskan hari-harinya di padang penggembalaan. Kami, kerbau-kerbaunya juga tak pernah lagi menginjakkan kaki ke kampung halaman Pinang Sori.

Suatu hari kami melihat Permaisuri muncul di padang penggembalaan. Ia rupanya mengajak Pinang Sori untuk kembali ke istana. Permaisuri mempertanyakan mengapa Pinang Sori tak juga pulang, padahal raja sudah berulang kali meminta hulubalang menjemput dia.

Melihat kedatangan ibunya, Pinang Sori justru bertambah kecewa. Ia berpikir memang benarlah ayahnya tak lagi menginginkan dirinya. Buktinya ia hanya mengutus ibunya untuk menjemputnya. Itu berarti hanya ibunya lah yang merindukannya. Ayahnya tidak. Dan karena itu Pinang Sori menolak untuk pulang.

Saya melihat permaisuri menangis menyadari Pinang Sori menolak ajakan pulang. Pinang Sori juga begitu. Ia tidak dapat menyembunyikan rasa sedihnya. Tetapi apa mau dikata. Pinang Sori tetap memilih tinggal di padang penggembalaan. Dalam hemat dia, tidak ada gunanya lagi ia berada di istana. Ia tidak lagi dianggap ada.

(Di kemudian hari, kami tahu Pinang Sori hanya lah korban dari intrik istana. Tidak betul kalau ayahnya tak menginginkannya lagi. Sesungguhnya, setiap kali tiba waktu makan siang, raja mengutus hulubalang untuk menjemputnya. Tetapi hulubalang itu justru memutarbalikkan perintah. Alih-alih menyampaikan ajakan raja, hulubalang justru menyuruh Pinang Sori menggembala lebih jauh lagi. Tetapi apa daya, info ini diketahui Pinang Sori setelah 'nasi sudah jadi bubur.')

Setelah beberapa waktu tinggal di padang penggembalaan, saya melihat Pinang Sori bersiap-siap seperti hendak bepergian jauh. Ia pergi ke sungai dan memenuhi tatabunya (tatabu = tabung terbuat dari bambu, dijadikan tempat menyimpan air) dengan air. Tak berapa lama, kami kerbau-kerbaunya juga ia persiapkan. Rupanya memang benar, kami akan bepergian jauh. Ia naik di punggung saya. Di belakang kami kerbau-kerbau lainnya berjalan beriring. Juga enam orang anak buah Pinang Sori turut serta. Kami berjalan ke arah sebuah desa bernama Garingging, yang tergolong masih berada di wilayah kerajaan Aji Nembah. Dan kemudian, kami menetap di desa ini.

Enam tahun lamanya Pinang Sori menjadi warga Garingging. Setelah berusia 16 tahun ia merasa saatnya untuk berpetualang lagi. Kami pun mempersiapkan diri. Tatabu yang berisi air dari Ajinembah dulu masih tetap utuh dan turut serta dibawa dalam petualangan ini. Seperti biasa, Pinang Sori berada di atas punggung saya di depan, diiringi oleh anak buahnya beserta kerbau-kerbau yang lain. Kami menuju ke arah Timur memasuki wilayah Kerajaan Nagur, wilayah yang dewasa ini dikenal sebagai Kabupaten Simalungun. Di sini kami menemukan sebuah kawasan hutan lebat.

Pinang Sori ternyata menyukai tempat itu. Saya mengatakan begitu karena tak lama kemudian ia sudah mempersiapkan saya untuk dia tunggangi. Dia mengarahkan perjalanan kami ke istana Raja Nagur. Rupanya ia menghadap untuk meminta izin agar diberi kesempatan mengerjakan hutan lebat itu. Raja Nagur ternyata mengabulkannya. Pinang Sori pun segera bekerja membuka perladangan di hutan lebat itu. Seperti yang sudah saya ceritakan tadi, majikan saya ini selain gembala yang rajin juga petani yang ulet. Kami kerbau-kerbaunya senang-senang saja membantunya bekerja.

Suatu hari saya melihat Pinang Sori duduk menyendiri. Sepertinya ada banyak yang dia pikirkan. Lalu dia bicara sendiri, berjalan ke sana ke mari di sekitar saya. Ia sepertinya ingin memecahkan suatu teka-teki dan seolah-olah mengajak saya bertukar pikiran meminta saran. Dari apa yang ia ceritakan saya akhirnya mengerti bahwa ia baru saja bermimpi. Dalam mimpi itu ia melihat seorang raja datang menemuinya. Raja itu memerintahkan Pinang Sori mengubah hutan yang kami tempati itu menjadi sebuah desa. Ia juga diminta memberi nama Raya Simbolon kepada desa itu.

Masih dalam mimpinya, sang raja juga meminta Pinang Sori mengambil dan menanamkan temburak kotoran saya di lahan yang tengah dikerjakannya.(temburak= tahi atau kotoran yang telah membusuk dan mengering bercampur dengan tanah). Demikian juga dengan air dalam tatabu yang dibawa dari Ajinembah, diminta agar dituangkan ke tempat air yang biasa digunakan Pinang Sori untuk mandi. (Kelak, saya dapat melihat bahwa ternyata hal ini berguna membantunya manakala diminta membuktikan diri sebagai pemilik desa yang didirikannya itu.)

Namun berbeda dengan sebelumnya, setelah dia selesai menceritakan mimpi itu, Pinang Sori saya lihat seperti merasa lepas. Ia terkesan telah mengerti dan mendapatkan sesuatu. Wajahnya terlihat cerah. Matanya berbinar-binar.

Hari-hari setelah itu, saya dapat melihat gairahnya bekerja lebih besar lagi. Rupanya mimpi itu memacu semangatnya. Ia tampaknya yakin perintah sang Raja untuk membuat hutan itu jadi sebuah desa adalah perintah Tuhan kepadanya. Setiap hari ia bekerja bersama para anak buahnya dan kami, kerbau-kerbaunya. Selain membuka lahan dan mengolahnya, Pinang Sori juga rajin berburu, terutama menembak burung memakai ultop. Ini bukan sekadar untuk mendapatkan daging sebagai lauk. Padi-padian dari tembolok burung-burung hasil buruannya, diperlukan sebagai benih untuk ditanam di ladangnya.

Begitu lah, Pinang Sori akhirnya berhasil membuka hutan itu jadi ladang yang subur. Dari tahun ke tahun lahan yang dikerjakan Pinang Sori makin memberi hasil. Padi, jagung dan umbi-umbian makin berlimpah dihasilkannya. Hal ini mendorong banyak orang mendatangi tempat kami dan meminta hasil ladang dari Pinang Sori. Rupanya, di daerah sekitar itu sebelumnya belum pernah ada ladang yang memberi hasil sebanyak itu.

Selain giat dan rajin, majikan saya orangnya pemurah. Tidak ditolaknya orang-orang yang datang meminta hasil bumi kepadanya. Sebaliknya ia memberikannya, yang membuat orang-orang terheran-heran. Pinang Sori memberikannya dengan cuma-cuma. Orang-orang yang pulang dari ladangnya dibanjirinya dengan hasil bumi, sampai-samapai mereka harus bersusah payah membawanya.

Hanya satu saja pesan Pinang Sori kepada orang-orang yang mendapatkan hasil bumninya. Yakni, apabila ada yang bertanya, dari siapa mereka mendapatkan rezeki itu, jawabnya: dari Raja Raya.

Syarat yang ringan itu tentu mereka terima dengan senang hati. Buktinya, makin hari makin banyak orang yang datang karena mendengar kabar ada Raja Raya yang pemurah di tempat kami. Rupanya orang-orang yang dalam perjalanan menuju pulang, tatkala ditanyai oleh yang berpapasan dengan mereka, segera menjawab bahwa hasil bumi itu didapat dari Raja Raya. Pinang Sori pun makin terkenal sebagai Raja Raya.

Berita tentang telah munculnya Raja Raya akhirnya sampai ke telinga Raja Nagur. Konon, Raja Nagur kaget kok bisa-bisanya muncul raja di daerah kekuasaannya tanpa sepengetahuannya. Itu lah barangkali sebabnya suatu hari Raja Nagur tiba-tiba saja sudah ada di tempat kami. Rupanya ia ingin menyelidiki kebenaran informasi tentang adanya Raja Raya tersebut. Ia menemui Pinang Sori di ladang dan langsung menanyakan, darimana ia mendapat kuasa sehingga berani mengklaim bahwa itu adalah kerajaannya.

"Saya mendapatkannya dari Tuhan (Naibata, red), " kata Pinang Sori, menjawab pertanyaan itu.
"Apakah kamu berani bersumpah atas apa yang kamu katakan itu?" Raja Nagur bertanya lagi.
"Berani," kata Pinang Sori.

Di zaman itu, bersumpah atau dalam Bahasa Simalungun, marbija, adalah sebuah cara untuk membuktikan kebenaran manakala ada dua pihak yang berkonflik. Pihak yang berbohong dipercaya akan 'termakan sumpah.' Ia akan mendapat celaka oleh sumpahnya itu sendiri.

Maka karena Pinang Sori sudah mengatakan berani bersumpah, ia dipersilakan melaksanakannya. Ia diminta bersumpah bahwa tanah yang ia klaim sebagai kerajaannya datangnya dari Tuhannya.

Saya sebenarnya agak heran. Mengapa Pinang Sori terlihat tidak takut sedikit pun? Bukankah kalau ia mengaku bahwa tanah itu adalah tanahnya, ia berarti berbohong. Sebab, bukankah tanah yang mereka kerjakan itu adalah hutan yang termasuk dalam wilayah kerajaan Nagur?

Ternyata majikan saya itu memang cerdik. Belakangan, saya mendengar ia bercerita kepada teman-temannya bahwa ia tak takut bersumpah karena ia ingat lagi perintah raja yang datang dalam mimpinya. Ia ingat perintah raja dalam mimpi yang mengatakan agar ia menanamkan temburak kotoran saya di ladang yang dikerjakannya itu dan menyimpan air dalam tatabu ke tempat air pemandian yang biasa dia gunakan. Karena tanah temburak itu memang benar adalah miliknya dan air dari tatabu itu memang juga adalah air miliknya yang dibawanya dari Ajinembah, maka Pinang Sori tak perlu termakan sumpah bila ia mengakui tanah yang dikerjakannya itu adalah tanahnya.

Itu lah sebabnya ia berani duduk di tengah ladangnya, di atas tanah tempat ia menanam temburak itu seraya berkata:

"Kalau tidak benar tanah ini tanah saya, dan air ini air saya, yang diberikan oleh Tuhan kepada saya, saya akan terkena kutuk. Tuhan mendengar sumpah saya ini."

Setelah Raja Nagur melihat keberanian Pinang Sori dan mendengar sumpahnya, ia pun jadi percaya dan mengakui Pinang Sori sebagai pemilik daerah itu. Beberapa waktu kemudian Pinang Sori bahkan menikah dengan putri tunggal Raja Nagur. Hasil pernikahan itu seorang putra, diberi nama Lajang Raya, yang lahir dua tahun kemudian.

Hari-hari selanjutnya dilalui Pinang Sori dengan menjadi menantu Nagur sekaligus juga menjadi panglima kepercayaannya. Pinang Sori banyak membantu sang mertua mengatasi pemberontakan di wilayah kerajaannya mau pun dalam menambah wilayah kerajaan melalui penaklukan-penaklukan baru. Pinang Sori juga membantu Raja Nagur memerangi musuh-musuh baru yang ingin merebut wilayah kerajaan Nagur. Pinang Sori menjadi menantu yang dipercaya oleh Raja Nagur.

Hari-hari Pinang Sori selalu ia lewatkan bersama saya. Tidak ada pertempuran yang dipimpinnya tanpa mengajak saya. Selalu saya bersama dia. Dari satu desa ke desa lain. Dari satu penaklukan ke penaklulan lain.

Setelah melalui banyak suka-duka mendampinginya, pengabdian saya kepada Pinang Sori berakhir oleh sebuah peristiwa yang tak kan pernah bisa saya lupakan. Itu terjadi di sebuah tempat tak jauh dari Padang Bolag.

Ketika itu, seperti biasanya, saya membawa Pinang Sori berperang melawan musuh. Dalam perang itu terjadi lah apa yang selama ini belum pernah terjadi. Tanpa saya sadari saya telah terluka. Mungkin terkena senjata musuh. Mungkin juga kesabet tandukan kerbau tunggangan lawan. Yang jelas saya terluka sangat parah. Pinang Sori tampaknya tak sempat lagi melindungi saya waktu itu.

Lebih jauh, Pinang Sori pun tampaknya sudah kewalahan. Makin lama pasukannya terdesak. Akibatnya, ia memutuskan untuk mudur. Ada dua pilihannya, pertama, mundur ke arah Raya Simbolon, kerajaan yang dirintisnya paling awal Atau kedua, mundur ke Ajinembah, kerajaan ayahnya yang juga tanah kelahirannya.

Dalam perjalanan mundur itu, saya merasakan kesakitan dan kelelahan yang amat sangat. Baru kali ini saya mengalami sakit dan lemah se-luar biasa itu. Waktu rasanya berjalan lambat. Sementara itu, saya belum melihat Pinang Sori memberi tanda-tanda kami bakal berhenti. Akhirnya, di sebuah jurang di Dolog Lubuk Raya, saya benar-benar menyerah. Saya samasekali tak dapat berjalan lagi. Saya tergeletak begitu saja. Tak mampu bergerak.

Saya melihat Pinang Sori masih berusaha membantu saya berdiri. Tetapi akhirnya ia tampaknya menyadari keadaan saya yang tak mungkin bangkit lagi. Wajahnya tampak sedih. Sampai-sampai ia tak mau jauh-jauh dari saya. Yang mengharukan dan sangat menyentuh animality ( perikehewanan, lawan dari humanity, pen) saya adalah tindakan Pinang Sori selanjutnya. Ia tidak membiarkan saya tinggal sendirian di jurang itu. Ia justru memutuskan agar kami beserta seluruh pasukannya berhenti sementara, sambil menunggu saya sembuh. Bahkan selanjutnya saya mendengar Pinang Sori memerintahkan pasukannya membuka daerah itu untuk dijadikan tempat mereka menetap. Di kemudian hari desa itu dinamai Sipinangsori.

Sayangnya, luka yang saya derita ternyata tak bisa tersembuhkan. Bahkan makin parah. Makin hari saya bertambah lemah. Pinang Sori sudah berusaha melakukan aneka pengobatan. Namun, tampaknya tak ada lagi gunanya. Ketika saya menulis memoir ini, saya mungkin tengah berada pada hari-hari terakhir saya. Ketika orang membaca tulisan ini, saya sangat pasti ini lah tulisan terakhir yang bisa saya buat untuk majikan saya, Pinang Sori yang saya cintai.

Mungkin ia sedih. Mungkin ia kecewa. Saya pun begitu. Seandainya diberi kesempatan, saya masih ingin mengulang masa-masa indah bersamanya. Sejujurnya saya ingin mengatakan kepadanya, saya sangat berbahagia di akhir hidup saya ini. Bahagia karena pernah mengalami masa-masa yang istimewa sebagai kerbau yang istimewa, bersama seorang majikan yang istimewa, Pinang Sori. Ia pemurah, penyayang dan begitu setianya pada saya. Ia bahkan berjanji jika kelak saya mengembuskan nafas penghabisan di desa Sipinangsori ini, ia pun tak kan pernah beranjak dari sana. Ia ingin menghabiskan sisa hidup tak jauh-jauh dari saya.

Terimakasih, Tuan Pinang Sori. Diatei tupa ma."

Pinang Sori dan kerbaunya, Sinanggalutu, dipercaya adalah tokoh historis. Tetapi dongeng-dongeng tentang pergaulan sang Tuan dan peliharaannya itu ada dalam bermacam versi. Itu tak mengherankan, karena legenda sudah menjadi bagian wajar yang melingkupi hidup raja-raja zaman dahulu –bahkan zaman sekarang. Tulisan di atas adalah salah satu versi interpretasi ulang dari salah satu dongeng tentang hubungan Pinang Sori dan Sinanggalutu.

Pinangsori dipercaya hidup pada periode tahun 1400-an. Ia dipercaya merupakan perintis Kerajaan Raya, salah satu kerajaan di wilayah Simalungun yang masih ada hingga 'revolusi sosial' melenyapkannya pada 1947.

Urutan raja-raja Raya sejak Pinang Sori adalah sebagai berikut:

Tuan Si Pinang Sori
Raja Raya, Tuan Lajang Raya
Raja Raya Simbolon (Namanya memakai nama wilayah kerajaannya, sebab tidak
diketahui lagi siapa nama aslinya)

Raja Gukguk
Raja Unduk
Raja Denggat
Raja Minggol
Raja Poso
Raja Nengel
Raja Bolon
Raja Martuah
Raja Raya Tuan Morahkalim
Raja Raya Tuan Jimmahadim, Tuan Huta Dolog
Raja Raya Tuan Rondahaim
Raja Raya Tuan Sumayan (Kapoltakan)
Raja Raya Tuan Gomok (Bajaraya)
Tuan Yan Kaduk Saragih Garingging

Perihal Pinang Sori, Berbeda dengan kisah dalam dongeng yang mengatakan ia terusir dari kerajaan Aji Nembah karena 'tidak diajak makan siang' oleh ayahnya, kepergian Pinang Sori dari tanah kelahirannya diduga karena adanya perseteruan internal diantara keluarga penguasa Aji Nembah. Perseteruan itu diperparah oleh campur tangan pihak luar Aji Nembah, membuat banyak warganya yang melarikan diri dari kerajaan tersebut. Ketika itu lah Pinang Sori yang tengah menggembalakan kerbaunya di desa Garingging, memutuskan hengkang, bersama kerbau-kerbaunya ke arah hilir desa itu. Dalam rombongannya, termasuk beberapa orang saudaranya yang sekubu dengannya, berikut sejumlah pegawai kerajaan. Ada sekitar 100 orang anggota rombongan itu.

Diperkirakan 'hijrah' Pinang Sori terjadi pada tahun 1927. Dari Garingging rombongannya pergi ke Tikkos sambil mengajak kerabat mereka yang sudi ikut. Perjalanan kemudian dilanjutkan ke Purba Tua, lalu ke Hinalang hingga setelah satu tahun dalam perjalanan mereka tiba di Raya Simbolon.

Tak lama setelah Pinang Sori bermukim di Raya Simbolon, utusan Raja Nagur mendatangin dan memintanya menghadap ke Rumah Bolon Nagur di Raya Usang. Di sana, Raja Nagur mengajak Pinang Sori bekerjasama untuk mengusir musuh-musuh kerajaan Nagur. Musuh-musuh itu antara lain para pendatang dari pesisir pantai selain para penghulu-penghulu dusun yang memberontak.

Pada saat itu lah Pinang Sori bersumpah membela Raja Nagur. Tak lama kemudian, ia menikah dengan putri tunggal raja itu. Sang putri memberinya seorang putra yang diberi nama Lajang Raya. Sebagai menantu, Pinang Sori membantu Raja Nagur dalam menghadapi musuh-musuh kerajaan. Bersama dengan dia, tidak pernah absen peranan Sinanggalutu sebagai kerbau tunggangannya.

Tentang akhir hidup Sinanggalutu ada berbagai versi. Selain versi di atas, ada yang mengatakan Sinanggalutu menghabiskan hidupnya di daerah Padang Lawas. Itu terjadi setelah ia membawa tuannya, Pinang Sori ke kampung pamannya di Bondailing. Pinang Sori berpulang di di sana sementara Sinanggalutu dikisahkan pergi ke Padang Lawas.

Versi lain mengatakan Sinanggalutu terluka bukan dalam perang melainkan karena kalah dalam adu kerbau. Kerbau yang mengalahkannya konon hanya kerbau 'junior,' alias kerbau anak-anak.


Klik disini untuk melanjutkan »»

KUMPULAN UMPASA BAG II

.
0 komentar

Humbani namaposo

1.    Talun ni par kisaran susur hu liang nangka
       Layur do au hiranan bani boru sinaga

2.    lambar bulungni pisang lemes bulungni topu
       Ham ma huahap inang agepe lape mardomu

3.    Pasaksak juma ruba horbangma andor pastap
       Mantapma namin horja rongkap lang marpanatap

4.    Taratinggi na korah harbei bani nagolap
       Hupatinggi sikkolah hape padaoh rongkap

5.    Marodor parsinaman manonggor huda huda
       Layur do au hiranan bani si boru Purba .

6     hodong hodong namosap maligar do ibolah
       Daoh do hape rongkap bani naso sikkolah

7     Maretor porkis ipuh bani hayu aloban
       Rado manektek iluh daoh bani hasoman

8     Galinggang hayu songgol parngas hape bulungni
       Marsirang nadop somal tangkos hape lungunni

9,    Obor bani nagolap panggantih ni andap andap
       Odor naming rokkap ampa horja na mantap

10.   Manortor roba roba itongahni harangan
       Age ihojot horja ,nasoppat lobei mangan

11.  makah par bahsombuh megah marpariama
       Anggo domma harosuh etek pe na paima

12.  Etek pe pora pora aima panggantih itok
       Etek pe horja asal adatna gok

13.  Motor dolok marangir mardalan hu kasindir
       Domma naming ianggir sada pelang manaksir

14.  Hampidi rayabasi malopak dop ibolah
       Pahitni hata mondi ingaton do madokah

15.  Tarhirjat Dayok gingging margele gele hambing
       Sirsir do namin ring ring hape lalap do tading

16.  kahombu bajalinggei sogopanni anduhur
       Marosuh mau naminei hamdo mardua uhur

17.  age bue andihei sada do nahutatap
       Buepe na husisei hamdo anakni mata

18.  sisir ni anak lajang pattang do itadingkon
       Misir pe au marlajang hamdo nahusarihon .

19.  Husuba marjalengkat lang tahan ompu ompu
       Domma husuba nekat ham do nalang pot hutogu .

20.  Nahama marjalengkat lang be marompu ompu
       Naha dalanhu nekat hatamu pelang tottu .

21. Horsik pasir mandogei pajajar bunga bondar
      Marsikkor do parlobei pajongjong namadear .
     ''Untuk memulai yang baik sangat menyakitkan ''

22. Pardalanni bedar ranggisgis marsappilpil
      Pararat namadear maningon do marukkil .
      Menyebar luaskan kebaikan memerlukan pengorbanan

23. Lassina juma roba mondun marpanggar panggar
      Ija pe ham marhorja porlu do ham basar.
      Dimanapun kita bekerja sikap ramah sangat dibutuhkan

24. Barakbak ambaroba manuk manuk pargobak
      Biak siloja loja partulakan ni horja
      Sudah nasib sang jongos .pelimpahan semua pekerjaan

25. Modom modom ilik ipassa reot reot
      Domdom naso marsitting papodas hita teot
      Dendam kesumat mempercepat kelumpuhan

26.  Mange mange si borhu sontohni poyon poyon
       Age hita masombuh nabotoh habadoron
       Walaupun kita melarat harus tau malu

27.  Roba sipissarpissar .parsidingan ni leto
       Mardohar anggo pistar marsikkor anggo oto.
       ''Kalau pintar berkelimpahan bodoh sangat menderita ''

28.  tangis tangis siduhduh tangis ibiding sopou
       Tarsikkot hinasombuh halani hinaoto.
       Terungkaplah kemiskinan karena kebodohan

29.  Tangis tangis panderes manangisi parudan
       Tarsikkotma pambere halani parjuljalan
       Terungkap pemberian masa lalu karena pertengkaran.

30.  torik pe namarsege torikan ope mamburbur
       Otik pe naibere sonaima malas uhur .
       ''Walau sedikit yang di beri orang kita harus bersyukur''

31.  Apang apang ni landak manguji hahobalan
       Mangajari dakdanak manguji hasabaron.
       Mendidik anak anak menguji kesabaran

32.  Barohol simarsolpah saranggiting damayon
       Nahopolma niombah parsirangan ni samon
       Dekaplah anak-anak saat turun senja

33.  Simapang bah kulusar rappah raya huluan
       Ila naso mardasar mangambat hamajuon
       Rasa malu tak berdasar menghambat kemajuan

34.  Lasina ajar ajar porluma nasarihon
       Haila na mardasar porlu nalestarihon
       Rasa malu yang berdasar perlu di lestarikan

35.  Marmangmang ma si lumang manggodor tanggiripan
       Angan angan nasumbang paponjothon pikkiran
       Keinginan yang tidak realistis menambah kemelut dalam fikiran

36.  Age pandei mandihar rado nahei tarsidir
       Marmercy pe napistar rado matei marpingkir
       Walaupun orang pintar naik mercy bisa saja mati karena fikiran

37.  Tukkis pe sidalannon ulang pala manomboh
       Tubis pe sipangannon ulang lupa martonggo
       Walaupun makan seadanya jangan lupa berdoa

38.  Suhat suhat baluhat boanon hutapian
       Tulak bulhat bulhat anggo naso bagian
       Tolak mentah mentah pemberian yang haram

39.  Manggakgak darih manangak sarih
       Halak idarih darih Dakdanakni massadih
       Orang lain di kasihi anak anaknya ditelantarkan

40.  Age martintin logam asal hupartonduran
       Age hita marlonggam asal ulang gayuran .
       Walau kotor belepotan asaljangan kelaparan Mariun

disadur ulang oleh: David Purba
(dari berbagai sumber)

Klik disini untuk melanjutkan »»

Dalihan Na Tolu

.
1 komentar

Sistem kekerabatan orang Batak menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak dilahirkan hingga meninggal dalam 3 posisi yang disebut DALIHAN NA TOLU (bahasa Toba) atau TOLU SAHUNDULAN(bahasa Simalungun).
"Dalihan Natolu" ini melambangkan sikap hidup orang batak dalam bermasyarakat. "Dalihan Natolu" yaitu:
  1. Marsomba tu Hula-Hula. "Hula-Hula" adalah Orang tua dari wanita yang dinikahi oleh seorang pria, namun hula-hula ini dapat diartikan secara luas. Semua saudara dari pihak wanita yang dinikahi oleh seorang pria dapat disebut hula-hula. Marsomba tu hula-hula artinya seorang pria harus menghormati keluarga pihak istrinya.
  2. Elek Marboru. Boru adalah anak perempuan dari suatu marga, misalnya boru gultom adalah anak perempuan dari marga Gultom. Dalam arti luas, istilah boru ini bukan berarti anak perempuan dari satu keluarga saja, tetapi dari marga tersebut. Elek marboru artinya harus dapat merangkul boru.Hal ini melambangkan kedudukan seorang wanita didalam lingkungan marganya.
  3. Manat Mardongan Tubu. Dongan Tubu adalah saudara-saudara semarga. Manat Mardongan Tubu melambangkan hubungan dengan saudara-saudara semarga.
Dalihan Na Tolu bukanlah kasta karena setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut: ada saatnya menjadi Hula hula/Tondong, ada saatnya menempati posisi Dongan Tubu/Sanina dan ada saatnya menjadi BORU. Dengan Dalihan Na Tolu, adat Batak tidak memandang posisi seseorang berdasarkan pangkat, harta atau status seseorang. Dalam sebuah acara adat, seorang Gubernur harus siap bekerja mencuci piring atau memasak untuk melayani keluarga pihak istri yang kebetulan seorang Camat. Itulah realitas kehidupan orang Batak yang sesungguhnya. Lebih tepat dikatakan bahwa Dalihan Na Tolu merupakan SISTEM DEMOKRASI Orang Batak karena sesungguhnya mengandung nilai nilai yang universal.

Dalihan Na Tolu ini menjadi pedoman hidup orang Batak dalam kehidupan bermasyarakat. Contoh lain adalah adat "Mangulosi" dalam pesta perkawinan orang Batak. Apakah artinya? Mangulosi ini adalah menyelimutkan ulos kepada kedua mempelai yang melambangkan pemberian restu orang tua kepada anaknya.

Jika ditelaah lebih dalam, seni budaya batak yang sudah dipakai sejak ratusan tahun yang lalu itu banyak mengandung segi positifnya. Namun ada beberapa hal negatif dari budaya batak yang harus kita tinggalkan, misalnya budaya banyak bicara sedikit bekerja. Memang orang batak terkenal pintar berbicara.

Hal ini terlihat dari banyaknya pengacara-pengacara batak yang sukses. Akan tetapi kepintaran berbicara ini sering disalahgunakan untuk membolak-balikan fakta. Yang hitam bisa jadi putih dan yang putih bisa jadi hitam ditangan pengacara batak (walaupun tidak semua).

Hal lain yang negatif adalah budaya "HoTeL". HoTeL adalah singkatan dari:
  1. Hosom yang artinya dendam. Konon orang batak suka mendendam sesama saudara
  2. Teal yang artinya sombong, yang dapat terlihat dari cara bicara, sikap hidup, dll.
  3. Late yang artinya Iri Hati.

Apakah HoTeL ini hanya ada pada orang Batak saja? Kita sebagai generasi muda harus dapat mempertahankan budaya yang positif dan meninggalkan yang negatif.

(dari berbagai sumber)


Klik disini untuk melanjutkan »»

Legenda Putri Nai Mangale ( asal mula ni Dalihan Na Tolu)

.
0 komentar

Pada suatu hari Raja Panggana yang terkenal pandai memahat dan mengukir mengadakan pengembaraan keliling negeri. Untuk biaya hidupnya, Raja Panggana sering memenuhi permintaan penduduk untuk memahat patung atau mengukir rumah. Walaupun sudah banyak negeri yang dilaluinya dan banyak sudah patung dan ukiran yang dikerjakannya, masih terasa padanya sesuatu kekurangan yang membuat dirinya selalu gelisah.

Untuk menghilangkan kegelisahannya, ia hendak mengasingkan diri pada satu tempat yang sunyi. Di dalam perjalanan di padang belantara yang penuh dengan alang-alang ia sangat tertarik pada sebatang pohon tunggal yang hanya itu saja terdapat pada padang belantara tersebut. Melihat sebatang pohon tunggal itu Raja Panggana tertegun. Diperhatikannya dahan pohon itu, ranting dan daunnya. Entah apa yang tumbuh pada diri Raja Panggana, ia melihat pohon itu seperti putri menari. Dikeluarkannya alat-alatnya, ia mulai bekerja memahat pohon itu menjadi patung seorang putri yang sedang menari. Ia sangat senang, gelisah hilang. Sebagai seorang seniman ia baru pernah mengagumi hasil kerjanya yang begitu cantik dan mempesona. Seolah-olah dunia ini telah menjadi miliknya. Makin dipandangnya hasil kerjanya, semakin terasa pada dirinya suatu keagungan.

Pada pandangan yang demikian, ia melihat patung putri itu mengajaknya untuk menari bersama. Ia menari bersama patung dipadang belantara yang sunyi tiada orang. Demikianlah kerja Raja Panggana hari demi hari bersama putri yang diciptakannya dari sebatang kayu. Raja Panggana merasa senang dan bahagia bersama patung putri. Tetapi apa hendak dikata, persediaan makanan Raja Panggana semakin habis. Apakah gunanya saya tetap bersama patung ini kalau tidak makan ? biarlah saya menari sepuas hatiku dengan patung ini untuk terakhir kali. Demikian Raja Panggana dengan penuh haru meninggalkan patung itu. dipadang rumput yang sunyi sepi tiada berkawan. Raja Panggana sudah menganggap patung putri itu sebagian dari hidupnya.

Berselang beberapa hari kemudian, seorang pedagang kain dan hiasan berlalu dari tempat itu. Baoa Partigatiga demikian nama pedagang itu tertegun melihat kecantikan dan gerak sikap tari patung putri itu. Alangkah cantiknya si patung ini apabila saya beri berpakaian dan perhiasan. Baoa Partigatiga membuka kain dagangannya. Dipilihnya pakaian dan perhiasan yang cantik dan dipakaikannya kepada patung sepuas hatinya. Ia semakin terharu pada Baoa Partigatiga belum pernah melihat patung ataupun manusia secantik itu. dipandanginya patung tadi seolah-olah ia melihat patung itu mengajaknya menari.

Menarilah Baoa Partigatiga mengelilingi patung sepuas hatinya. Setelah puas menari ia berusaha membawa patung dengannya tetapi tidak dapat, karena hari sudah makin gelap, ia berpikir kalau patung ini tidak kubawa biarlah pakaian dan perhiasan ini kutanggalkan. Tetapi apa yang terjadi, pakaian dan perhiasan tidak dapat ditanggalkan Baoa Partigatiga. Makin dicoba kain dan perhiasan makin ketat melekat pada patung. Baoa Partigatiga berpikir, biarlah demikian. Untuk kepuasan hatiku baiklah aku menari sepuas hatiku untuk terakhir kali dengan patung ini. Iapun menari dengan sepuas hatinya. Ditinggalkannya patung itu dengan penuh haru ditempat yang sunyi dan sepi dipadang rumput tiada berkawam.

Entah apa yang mendorong, entah siapa yang menyuruh seorang dukun perkasa yang tiada bandingannya di negeri itu berlalu dari padang rumput tempat patung tengah menari. Datu Partawar demikian nama dukun. Perkasa terpesona melihat patung di putri. Alangkah indahnya patung ini apabila bernyawa. Sudah banyak negeri kujalani, belum pernah melihat patung ataupun manusia secantik ini. Datu Partawar berpikir mungkin ini suatu takdir. Banyak sudah orang yang kuobati dan sembuh dari penyakit. Itu semua dapat kulakukan berkat Yang Maha Kuasa.

Banyak cobaan pada diriku diperjalanan malahan segala aji-aji orang dapat dilumpuhkan bukan karena aku, tetapi karena ia Yang Maha Agung yang memberikan tawar ini kepadaku. Tidak salah kiranya apabila saya menyembah Dia Yang Maha Agung dengan tawar yang diberikannya padaku, agar berhasil membuat patung ini bernyawa. Dengan tekad yang ada padanya ini Datu Partawar menyembah menengadah keatas dengan mantra, lalu menyapukan tawar yang ada pada tangannya kepada patung. Tiba-tiba halilintar berbunyi menerpa patung. Sekitar patung diselimuti embun putih penuh cahaya.

Waktu embun putih berangsur hilang nampaklah seorang putri jelita datang bersujud menyembah Datu Partawar. Datu Partawar menarik tangan putri, mencium keningnya lalu berkata : mulai saat ini kau kuberi nama Putri Naimanggale. Kemudian Datu Partawar mengajak Putri Naimanggale pulang kerumahnya.

Konon kata cerita kecantikan Putri Naimanggale tersiar ke seluruh negeri. Para perjaka menghias diri lalu bertandang ke rumah Putri Naimanggale. Banyak sudah pemuda yang datang tetapi belum ada yang berkenan pada hati Putri Naimanggale. Berita kecantikan Putri Naimenggale sampai pula ketelinga Raja Panggana dan Baoa Partigatiga. Alangkah terkejutnya Raja Panggana setelah melihat Putri Naimanggale teringat akan sebatang kayu yang dipahat menjadi patung manusia.

Demikian pula Baoa Partigatiga sangat heran melihat kain dan hiasan yang dipakai Putri Naimanggale adalah pakaian yang dikenakannya kepada Patung, Putri dipadang rumput. Ia mendekati Putri Naimanggale dan meminta pakaian dan hiasan itu kembali tetapi tidak dapat karena tetap melekat di Badan Putri Naimanggale. Karena pakaian dan hiasan itu tidak dapat terbuka lalu Baoa Partigatiga menyatakan bahwa Putri Naimanggale adalah miliknya. Raja Panggana menolak malahan balik menuntut Putri Naimanggale adalah miliknya karena dialah yang memahatnya dari sebatang kayu. Saat itu pula muncullah Datu Partawar dan tetap berpendapat bahwa Putri Naimanggale adalah miliknya. Apalah arti patung dan kain kalau tidak bernyawa. Sayalah yang membuat nyawanya maka ia berada di dalam kehidupan. Apapun kata kalian itu tidak akan terjadi apabila saya sendiri tidak memahat patung itu dari sebatang kayu. Baoa Partigatiga tertarik memberikan pakaian dan perhiasan karena pohon kayu itu telah menajdi patung yang sangat cantik. Jadi Putri Naimanggale adalah milik saya kata Raja Panggana. Baoa Partigatiga balik protes dan mengatakan, Datu Partawar tidak akan berhasrat membuat patung itu bernyawa jika patung itu tidak kuhias dengan pakaian dan hiasan. Karena hiasan itu tetap melekat pada tubuh patung maka Raja Partawar memberi nyawa padanya. Datu Partawar mengancam, dan berkata apalah arti patung hiasan jika tidak ada nyawanya ? karena sayalah yang membuat nyawanya, maka tepatlah saya menjadi pemilik Putri Naimanggale. Apabila tidak maka Putri Naimanggale akan kukembalikan kepada keadaan semula. Raja Panggana dan Baoa Partigatiga berpendapat lebih baiklah Putri Naimanggale kembali kepada keadaan semula jika tidak menjadi miliknya.

Demikianlah pertengkaran mereka bertiga semakin tidak ada keputusan. Karena sudah kecapekan, mereka mulai sadar dan mempergunakan pikiran satu sama lain. Pada saat yang demikian Datu Partawar menyodorkan satu usul agar masalah ini diselesaikan dengan hati tenang didalam musyawarah. Raja Panggana dan Baoa Partigatiga mulai mendengar kata-kata Datu Partawar. Datu Partawar berkata : marilah kita menyelesaikan masalah ini dengan hati tenang didalam musyawarah dan musyawarah ini kita pergunakan untuk mendapatkan kata sepakat. Apabila kita saling menuntut akan Putri Naimanggale sebagai miliknya saja, kerugianlah akibatnya karena kita saling berkelahi dan Putri Naimanggale akan kembali kepada keadaannya semula yaitu patung yang diberikan hiasan. Adakah kita didalam tuntutan kita, memikirkan kepentingan Putri Naimanggale? Kita harus sadar, kita boleh menuntut tetapi jangan menghilangkan harga diri dan pribadi Putri Naimanggale.

Tuntutan kita harus kita dasarkan demi kepetingan Putri Naimanggale bukan demi kepentingan kita. Putri Naimanggale saat sekarang ini bukan patung lagi tetapi sudah menjadi manusia yang bernyawa yang dituntut masing-masing kita bertiga. Tuntutan kita bertiga memang pantas, tetapi marilah masing-masing tuntutan kita itu kita samakan demi kepentingan Putri Naimanggale.

Raja Panggana dan Baoa Partigatiga mengangguk-angguk tanda setuju dan bertanya apakah keputusan kita Datu Partawar ? Datu Partawar menjawab, Putri Naimanggale adalah milik kita bersama. Mana mungkin, bagaimana kita membaginya. Maksud saya bukan demikian, bukan untuk dibagi sahut Datu Partawar. Demi kepentingan Putri Naimanggale marilah kita tanyakan pendiriannya. Mereka bertiga menanyakan pendirian Putri Naimanggale.

Dengan mata berkaca-kaca karena air mata, air mata keharuan dan kegembiraan Putri Naimanggale berkata : "Saya sangat gembira hari ini, karena kalian bertiga telah bersama-sama menanyakan pendirian saya. Saya sangat menghormati dan menyayangi kalian bertiga, hormat dan kasih sayang yang sama, tiada lebih tiada kurang demi kebaikan kita bersama. Saya menjadi tiada arti apabila kalian cekcok dan saya akan sangat berharga apabila kalian damai. Mendengar kata-kata Putri Naimanggale itu mereka bertiga tersentak dari lamunan keakuannya masing-masing, dan memandang satu sama lain. Datu Partawar berdiri lalu berkata : Demi kepentingan Putri Naimanggale dan kita bertiga kita tetapkan keputusan kita :
a. Karena Raja Panggana yang memahat sebatang kayu menjadi patung, maka pantaslah ia menjadi Ayah dari Putri Naimanggale. SUHUT
b. Karena Baoa Partigatiga yang memberi pakaian dan hiasan kepada patung, maka pantaslah ia menjadi Amangboru dari Putri Naimanggale. BORU
c. Karena Datu Partawar yang memberikan nyawa dan berkat kepada patung, maka pantaslah ia menjadi Tulang dari Putri Naimanggale. HULA-HULA

Mereka bertiga setuju akan keputusan itu dan sejak itu mereka membuat perjanjian, padan atau perjanjian mereka disepakati dengan :
Pertama, bahwa demi kepentingan Putri Naimanggale Raja Panggana, Baoa Partigatiga dan Datu Partawar akan menyelesaikan semua permasalahan yang terjadi dan mungkin terjadi dengan jalan musyawarah.
Kedua, bahwa demi kepentingan Putri Naimanggale dan turunannya kelak, Putri Naimanggale dan turunannya harus mematuhi setiap keputusan dari Raja Panggana, Baoa Partigatiga dan Datu Partawar.

Demikian legenda PUTRI NAI MANGGALE yang menggambarkan (turi-turian) asal muasal DALIHAN NA TOLU didalam kekerabatan Batak. Dari cerita tersebut, bahwa hakikat DNT adalah musyawarah untuk menyelesaikan masalah demi kebaikan orang yang dikasihi dalam hal ini PUTRI NAI MANGGALE.


(ditulis ulang dari Buku DALIHAN NATOLU NILAI BUDAYA SUKU BATAK; Oleh Drs. DJ. GULTOM RAJAMARPODANG)


Klik disini untuk melanjutkan »»

Batu Gantung-Parapat

.
0 komentar

halo kakak, Abang, Adek, Inang, Bapa....tuk sekedar menambah wawasan kita mengenai wilayah batak, nih ada sebuah cerita atau disebut "turi-turian". semoga aja bermanfaat...
Nb: tidak semua yang Anda baca adalah yang sebenarnya, tetapi hal ini dapat dijadikan referensi,,,,
thanks before

Parapat atau Prapat adalah sebuah kota kecil yang berada di wilayah Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, Indonesia. Kota kecil yang terletak di tepi Danau Toba ini merupakan tujuan wisata yang ramai dikunjungi oleh wisatawan domestik maupun mancanegara. Kota ini memiliki keindahan alam yang sangat mempesona dan didukung oleh akses jalan transportasi yang bagus, sehingga mudah untuk dijangkau.

Kota ini sering digunakan sebagai tempat singgah oleh para wisatawan yang melintas di Jalan Raya Lintas Sumatera (Jalinsum) bagian barat yang menghubungkan Kota Medan dengan Kota Padang. Selain sebagai objek wisata yang eksotis, Parapat juga merupakan sebuah kota yang melegenda di kalangan masyarakat di Sumatera Utara. Dahulu, kota kecil ini merupakan sebuah pekan yang terletak di tepi Danau Toba. Setelah terjadi suatu peristiwa yang sangat mengerikan, tempat itu oleh masyarakat diberi nama Parapat atau Prapat.

Dalam peristiwa itu, muncul sebuah batu yang menyerupai manusia yang berada di tepi Danau Toba. Menurut masyarakat setempat, batu itu merupakan penjelmaan seorang gadis cantik bernama Seruni. Peristiwa apa sebenarnya yang pernah terjadi di pinggiran kota kecil itu? Kenapa gadis cantik itu menjelma menjadi batu? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita Batu Gantung berikut ini!.

Alkisah,di sebuah desa terpencil di pinggiran Danau Toba Sumatera Utara, hiduplah sepasang suami-istri dengan seorang anak perempuannya yang cantik jelita bernama Seruni. Selain rupawan, Seruni juga sangat rajin membantu orang tuanya bekerja di ladang. Setiap hari keluarga kecil itu mengerjakan ladang mereka yang berada di tepi Danau Toba, dan hasilnya digunakan untuk mencukupikebutuhan sehari-hari.

Pada suatu hari, Seruni pergi ke ladang seorang diri, karena kedua orang tuanya ada keperluan di desa tetangga. Seruni hanya ditemani oleh seekor anjing kesayangannya bernama si Toki. Sesampainya di ladang, gadis itu tidak bekerja, tetapi ia hanya duduk merenung sambil memandangi indahnya alam Danau Toba.

Sepertinya ia sedang menghadapi masalah yang sulit dipecahkannya. Sementara anjingnya, si Toki, ikut duduk di sebelahnya sambil menatap wajah Seruni seakan mengetahui apa yang dipikirkan majikannya itu. Sekali-sekali anjing itu menggonggong untuk mengalihkan perhatian sang majikan, namun sang majikan tetap saja usik dengan lamunannya.

Memang beberapa hari terakhir wajah Seruni selalu tampak murung. Ia sangat sedih, karena akan dinikahkan oleh kedua orang tuanya dengan seorang pemuda yang masih saudara sepupunya. Padahal ia telah menjalin asmara dengan seorang pemuda pilihannya dan telah berjanji akan membina rumah tangga yang bahagia. Ia sangat bingung. Di satu sisi ia tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya, dan di sisi lain ia tidak sanggup jika harus berpisah dengan pemuda pujaan hatinya. Oleh karena merasa tidak sanggup memikul beban berat itu, ia pun mulai putus asa.

"Ya, Tuhan! Hamba sudah tidak sanggup hidup dengan beban ini," keluh Seruni. Beberapa saat kemudian, Seruni beranjak dari tempat duduknya. Dengan berderai air mata, ia berjalan perlahan ke arah Danau Toba. Rupanya gadis itu ingin mengakhiri hidupnya dengan melompat ke Danau Toba yang bertebing curam itu.

Sementara si Toki, mengikuti majikannya dari belakang sambil menggonggong. Dengan pikiran yang terus berkecamuk, Seruni berjalan ke arah tebing Danau Toba tanpa memerhatikan jalan yang dilaluinya. Tanpa diduga, tiba-tiba ia terperosokke dalam lubang batu yang besar hingga masuk jauh ke dasar lubang. Batu cadas yang hitam itu membuat suasana di dalam lubang itu semakin gelap. Gadis cantik itu sangat ketakutan. Di dasar lubang yang gelap, ia merasakan dinding-dinding batu cadas itu bergerak merapat hendak menghimpitnya.

"Tolooooggg……! Tolooooggg……! Toloong aku, Toki!" terdengar suara Seruni meminta tolong kepada anjing kesayangannya.

Si Toki mengerti jika majikannya membutuhkan pertolongannya, namun ia tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali hanya menggonggong di mulut lubang. Beberapa kali Seruni berteriak meminta tolong, namun si Toki benar-benar tidak mampu menolongnnya. Akhirnya gadis itu semakin putus asa.

"Ah, lebih baik aku mati saja daripada lama hidup menderita," pasrah Seruni.

Dinding-dinding batu cadas itu bergerak semakin merapat. "Parapat! Parapat batu… Parapat!" seru Seruni menyuruh batu itu menghimpit tubuhnya..

Sementara si Toki yang mengetahui majikannya terancam bahaya terus menggonggong di mulut lubang. Merasa tidak mampu menolong sang majikan, ia pun segera berlari pulang ke rumah untuk meminta bantuan. Sesampai di rumah majikannya, si Toki segera menghampiri orang tua Seruni yang kebetulan baru datang dari desa tetangga berjalan menuju rumahnya.

"Auggg…! auggg…! auggg…!" si Toki menggonggong sambil mencakar-cakar tanah untuk memberitahukan kepada kedua orang tua itu bahwa Seruni dalam keadaan bahaya.

"Toki…, mana Seruni? Apa yang terjadi dengannya?" tanya ayah Seruni kepada anjing itu.

"Auggg…! auggg…! auggg…!" si Toki terus menggonggong berlari mondar-mandir mengajak mereka ke suatu tempat.

"Pak, sepertinya Seruni dalam keadaan bahaya," sahut ibu Seruni.

"Ibu benar. Si Toki mengajak kita untuk mengikutinya," kata ayah Seruni.

"Tapi hari sudah gelap, Pak. Bagaimana kita ke sana?" kata ibu Seruni.

"Ibu siapkan obor! Aku akan mencari bantuan ke tetangga," seru sang ayah. Tak lama kemudian, seluruh tetangga telah berkumpul di halaman rumah ayah Seruni sambil membawa obor. Setelah itu mereka mengikuti si Toki ke tempat kejadian. Sesampainya mereka di ladang, si Toki langsung menuju ke arah mulut lubang itu. Kemudian ia menggonggong sambil mengulur-ulurkan mulutnya ke dalam lubang untuk memberitahukan kepada warga bahwa Seruni berada di dasar lubang itu.

Kedua orang tua Seruni segera mendekati mulut lubang. Alangkah terkejutnya ketika mereka melihat ada lubang batu yang cukup besar di pinggir ladang mereka. Di dalam lubang itu terdengar sayup-sayup suara seorang wanita: "Parapat… ! Parapat batu… Parapat!"

"Pak, dengar suara itu! Itukan suara anak kita! seru ibu Seruni panik.

"Benar, bu! Itu suara Seruni!" jawab sang ayah ikut panik.

"Tapi, kenapa dia berteriak: parapat, parapatlah batu?" tanya sang ibu.

"Entahlah, bu! Sepertinya ada yang tidak beres di dalam sana," jawab sang ayah cemas.

Pak Tani itu berusaha menerangi lubang itu dengan obornya, namun dasar lubang itu sangat dalam sehingga tidak dapat ditembus oleh cahaya obor.

"Seruniii…! Seruniii… !" teriak ayah Seruni.

"Seruni…anakku! Ini ibu dan ayahmu datang untuk menolongmu!" sang ibu ikut berteriak.

Beberapa kali mereka berteriak, namun tidak mendapat jawaban dari Seruni. Hanya suara Seruni terdengar sayup-sayup yang menyuruh batu itu merapat untuk menghimpitnya.

"Parapat… ! Parapatlah batu… ! Parapatlah!"

"Seruniiii… anakku!" sekali lagi ibu Seruni berteriak sambil menangis histeris.

Warga yang hadir di tempat itu berusaha untuk membantu. Salah seorang warga mengulurkan seutas tampar (tali) sampai ke dasar lubang, namun tampar itu tidak tersentuh sama sekali. Ayah Seruni semakin khawatir dengan keadaan anaknya. Ia pun memutuskan untuk menyusul putrinya terjun ke dalam lubang batu.

"Bu, pegang obor ini!" perintah sang ayah.

"Ayah mau ke mana?" tanya sang ibu.

"Aku mau menyusul Seruni ke dalam lubang," jawabnya tegas.

"Jangan ayah, sangat berbahaya!" cegah sang ibu.

"Benar pak, lubang itu sangat dalam dan gelap," sahut salah seorang warga.

Akhirnya ayah Seruni mengurungkan niatnya. Sesaat kemudian, tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Bumi bergoyang dengan dahsyatnya seakan hendak kiamat. Lubang batu itu tiba-tiba menutup sendiri. Tebing-tebing di pinggir Danau Toba pun berguguran. Ayah dan ibu Seruni beserta seluruh warga berlari ke sana ke mari untuk menyelamatkan diri. Mereka meninggalkan mulut lubang batu, sehingga Seruni yang malang itu tidak dapat diselamatkan dari himpitan batu cadas.

Beberapa saat setelah gempa itu berhenti, tiba-tiba muncul sebuah batu besar yang menyerupai tubuh seorang gadis dan seolah-olah menggantung pada dinding tebing di tepi Danau Toba. Masyarakat setempat mempercayai bahwa batu itu merupakan penjelmaan Seruni yang terhimpit batu cadas di dalam lubang. Oleh mereka batu itu kemudian diberi nama "Batu Gantung".

Beberapa hari kemudian, tersiarlah berita tentang peristiwa yang menimpa gadis itu. Para warga berbondong-bondong ke tempat kejadian untuk melihat "Batu Gantung" itu. Warga yang menyaksikan peristiwa itu menceritakan kepada warga lainnya bahwa sebelum lubang itu tertutup, terdengar suara: "Parapat… parapat batu… parapatlah!"Oleh karena kata "parapat" sering diucapkan orang dan banyak yang menceritakannya, maka Pekan yang berada di tepi Danau Toba itu kemudian diberi nama "Parapat".

Parapat kini menjadi sebuah kota kecil salah satu tujuan wisata yang sangat menarik di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Demikian cerita tentang asal-usul nama kota prapat. Cerita di atas termasuk cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah akibat buruk dari sifat putus asa atau lemah semangat. Sifat ini tercermin pada sikap dan perilaku Seruni yang hendak mengakhiri hidupnya dengan melompat ke Danau Toba yang bertebing curam, namunia justru terperosok ke dalam lubang batu dan menghimpitnya hingga akhirnya meninggal dunia

disadur ulang: David Purba (dari berbagai sumber)

Klik disini untuk melanjutkan »»

Pakaian Adat Simalungun

.
1 komentar

Sama seperti suku-suku lain di sekitarnya, pakaian adat suku Simalungun tidak terlepas dari penggunaan kain Ulos (disebut Uis di suku Karo). Kekhasan pada suku Simalungun adalah pada kain khas serupa Ulos yang disebut Hiou dengan berbagai ornamennya. Ulos pada mulanya identik dengan ajimat, dipercaya mengandung "kekuatan" yang bersifat religius magis dan dianggap keramat serta memiliki daya istimewa untuk memberikan perlindungan. Menurut beberapa penelitian penggunaan ulos oleh suku bangsa Batak, memperlihatkan kemiripan dengan bangsa Karen di perbatasan Myanmar, Muangthai dan Laos, khususnya pada ikat kepala, kain dan ulosnya.

Secara legenda ulos dianggap sebagai salah satu dari 3 sumber kehangatan bagi manusia (selain Api dan Matahari), namun dipandang sebagai sumber kehangatan yang paling nyaman karena bisa digunakan kapan saja (tidak seperti matahari, dan tidak dapat membakar (seperti api). Seperti suku lain di rumpun Batak, Simalungun memiliki kebiasaan mangulosi (memberikan ulos) yang salah satunya melambangkan pemberian kehangatan dan kasih sayang kepada penerima ulos.

Ulos dapat dikenakan dalam berbagai bentuk, sebagai kain penutup kepala, penutup badan bagian bawah, penutup badan bagian atas, penutup punggung dan lain-lain. Ulos dalam berbagai bentuk dan corak/motif memiliki nama dan jenis yang berbeda-beda, misalnya ulos penutup kepala wanita disebut suri-suri, ulos penutup badan bagian bawah bagi wanita disebut ragipane, atau yang digunakan sebagai pakaian sehari-hari yang disebut jabit. Ulos dalam pakaian penganti Simalungun juga melambangkan kekerabatan Simalungun yang disebut Dalihan Natolu, yang terdiri dari tutup kepala (ikat kepala), tutup dada (pakaian) dan tutup bagian bawah (sarung).

Menurut Muhar Omtatok, Budayawan Simalungun, awalnya Gotong (Penutup Kepala Pria Simalungun) berbentuk destar dari bahan kain gelap ( Berwarna putih untuk upacara kemalangan, disebut Gotong Porsa), namun kemudian Tuan Bandaralam Purba Tambak dari Dolog Silou juga menggemari trend penutup kepala ala melayu berbentuk tengkuluk dari bahan batik, dari kegemaran pemegang Pustaha Bandar Hanopan inilah, kemudian Orang Simalungun dewasa ini suka memakai Gotong berbentuk Tengkuluk Batik.

Sumber: Berbagai sumber

Klik disini untuk melanjutkan »»

MARGA-MARGA SUKU SIMALUNGUN

.
0 komentar

Belakangan ini,banyak orang yang sudah tidak mengetahui mengenai asal-usulnya. salah satunya adalah marga atau yang nama kerennya disebut dengan "Nama Keluarga". Nah berikut ini aku berikan sedikit tulisan mengenai marga khusunya marga simalungun...


Terdapat empat marga asli suku Simalungun yang populer dengan akronim SISADAPUR, yaitu:
Sinaga
Saragih
Damanik
Purba

Keempat marga ini merupakan hasil dari "Harungguan Bolon" (permusyawaratan besar) antara 4 raja besar untuk tidak saling menyerang dan tidak saling bermusuhan (marsiurupan bani hasunsahan na legan, rup mangimbang munssuh).

Keempat raja itu adalah:
1. Raja Nagur bermarga Damanik
Damanik berarti Simada Manik (pemilik manik), dalam bahasa Simalungun, Manik berarti Tonduy, Sumangat, Tunggung, Halanigan (bersemangat, berkharisma, agung/terhormat, paling cerdas).

Raja ini berasal dari kaum bangsawan India Selatan dari Kerajaan Nagore. Pada abad ke-12, keturunan raja Nagur ini mendapat serangan dari Raja Rajendra Chola dari India, yang mengakibatkan terusirnya mereka dari Pamatang Nagur di daerah Pulau Pandan hingga terbagi menjadi 3 bagian sesuai dengan jumlah puteranya:
Marah Silau (yang menurunkan Raja Manik Hasian, Raja Jumorlang, Raja Sipolha, Raja Siantar, Tuan Raja Sidamanik dan Tuan Raja Bandar)
Soro Tilu (yang menurunkan marga raja Nagur di sekitar gunung Simbolon: Damanik Nagur, Bayu, Hajangan, Rih, Malayu, Rappogos, Usang, Rih, Simaringga, Sarasan, Sola)
Timo Raya (yang menurunkan raja Bornou, Raja Ula dan keturunannya Damanik Tomok)

Selain itu datang marga keturunan Silau Raja, Ambarita Raja, Gurning Raja, Malau Raja, Limbong, Manik Raja yang berasal dari Pulau Samosir dan mengaku Damanik di Simalungun.

2. Raja Banua Sobou bermarga Saragih
Saragih dalam bahasa Simalungun berarti Simada Ragih, yang mana Ragih berarti atur, susun, tata, sehingga simada ragih berarti Pemilik aturan atau pengatur, penyusun atau pemegang undang-undang.

Keturunannya adalah:
Saragih Garingging yang pernah merantau ke Ajinembah dan kembali ke Raya.
Saragih Sumbayak keturunan Tuan Raya Tongah, Pamajuhi, dan Bona ni Gonrang.

Saragih Garingging kemudian pecah menjadi 2, yaitu:
Dasalak, menjadi raja di Padang Badagei
Dajawak, merantau ke Rakutbesi dan Tanah Karo dan menjadi marga Ginting Jawak.

Walaupun jelas terlihat bahwa hanya ada 2 keturunan Raja Banua Sobou, pada zaman Tuan Rondahaim terdapat beberapa marga yang mengaku dirinya sebagai bagian dari Saragih (berafiliasi), yaitu: Turnip, Sidauruk, Simarmata, Sitanggang, Munthe, Sijabat, Sidabalok, Sidabukke, Simanihuruk.
Ada satu lagi marga yang mengaku sebagai bagian dari Saragih yaitu Pardalan Tapian, marga ini berasal dari daerah Samosir.
Rumah Bolon Raja Purba di Pematang Purba, Simalungun.

3. Raja Banua Purba bermarga Purba
Purba menurut bahasa berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Purwa yang berarti timur, gelagat masa datang, pegatur, pemegang Undang-undang, tenungan pengetahuan, cendekiawan/sarjana.

Keturunannya adalah: Tambak, Sigumonrong, Tua, Sidasuha (Sidadolog, Sidagambir). Kemudian ada lagi Purba Siborom Tanjung, Pakpak, Girsang, Tondang, Sihala, Raya.

Pada abad ke-18 ada beberapa marga Simamora dari Bakkara melalui Samosir untuk kemudian menetap di Haranggaol dan mengaku dirinya Purba। Purba keturunan Simamora ini kemudian menjadi Purba Manorsa dan tinggal di Tangga Batu dan Purbasaribu।

4. Raja Saniang Naga bermarga Sinaga atau Tanduk Banua (terletak di perbatasan Simalungun dengan tanah Karo)
Sinaga berarti Simada Naga, dimana Naga dalam mitologi dewa dikenal sebagai penebab Gempa dan Tanah Longsor.

Keturunannya adalah marga Sinaga di Kerajaan Tanah Jawa, Batangiou di Asahan.

Saat kerajaan Majapahit melakukan ekspansi di Sumatera pada abad ke-14, pasukan dari Jambi yang dipimpin Panglima Bungkuk melarikan diri ke kerajaan Batangiou dan mengaku bahwa dirinya adalah Sinaga.

Menurut Taralamsyah Saragih, nenek moyang mereka ini kemudian menjadi raja Tanoh Djawa dengan marga Sinaga Dadihoyong setelah ia mengalahkan Tuan Raya Si Tonggang marga Sinaga dari kerajaan Batangiou dalam suatu ritual adu sumpah (Sibijaon).Tideman, 1922

Beberapa Sumber mengatakan bahwa Sinaga keturunan raja Tanoh Djawa berasal dari India, salah satunya adalah menrurut Tuan Gindo Sinaga keturunan dari Tuan Djorlang Hatara.

Beberapa keluarga besar Partongah Raja Tanoh Djawa menghubungkannya dengan daerah Nagaland (Tanah Naga) di India Timur yang berbatasan dengan Myanmar yang memang memiliki banyak persamaan dengan adat kebiasaan, postur wajah dan anatomi tubuh serta bahasa dengan suku Simalungun dan Batak lainnya.

Marga-marga perbauran

Perbauran suku asli Simalungun dengan suku-suku di sekitarnya di Pulau Samosir, Silalahi, Karo, dan Pakpak menimbulkan marga-marga baru. Marga-marga tersebut yaitu:
Saragih: Sidauruk, Sidabalok, Siadari, Simarmata, Simanihuruk, Sidabutar, Munthe dan Sijabat
Purba: Manorsa, Simamora, Sigulang Batu, Parhorbo, Sitorus dan Pantomhobon
Damanik: Malau, Limbong, Sagala, Gurning dan Manikraja
Sinaga: Sipayung, Sihaloho, Sinurat dan Sitopu

Selain itu ada juga marga-marga lain yang bukan marga Asli Simalungun tetapi kadang merasakan dirinya sebagai bagian dari suku Simalungun, seperti Lingga, Manurung, Butar-butar dan Sirait.

Zaman raja-raja Simalungun, orang yang tidak jelas garis keturunannya dari raja-raja disebut "jolma tuhe-tuhe" atau "silawar" (pendatang). Fenomena sosial ini diakibatkan adanya hukum marga yang keras di Simalungun menyatukan dirinya dengan marga raja-raja agar mendapat hak hidup di Simalungun.
Demikianlah sehingga makin bertambah banyak marga di Simalungun. Tetapi meski demikian sejak dahulu hanya ada empat marga pokok di Simalungun yakni Sisadapur : Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba.

Setelah raja-raja dikuasai Belanda sejak ditandatanganinya Korte Verklaring (Perjanjian Pendek) tahun 1907 dan dihapuskannya kerajaan/feodalisme dalam aksi Revolusi Sosial tanggal 3 Maret 1946 sampai April 1947, peraturan tentang marga itu hapus di Simalungun. Masing-masing marga kembali lagi ke marga aslinya dan ke sukunya semula.

Penambahan Marga

Pada tahun 1930, Pdt. J. Wismar Saragih pernah menuliskan surat permohonan pada kumpulan Raja-Raja Simalungun yang berkumpul di Pematang Siantar yang meminta agar Raja-Raja tersebut menetapkan marga-marga baru sebagai tambahan kepada marga resmi Simalungun dengan maksud agar semakin banyak marga Simalungun seperti pada suku lain. Walaupun ide tersebut diterima oleh Raja-Raja tersebut namun permohonan J. Wismar Saragih belum disetujui karena belum tepat waktunya.

Karena alasan tersebut di atas, sebagian orang berpandangan bahwa masih ada kemungkinan bertambahnya Marga-marga di Simalungun। Hal ini senada dengan apa yang pernah dituliskan mengenai asal-usul beberapa Marga। Semisal Marga Saragih Garingging, yang disebut beberapa sumber berasal dari keturunan Pinangsori, dari Ajinembah (sebuah daerah di Kabupaten Karo) dan bermigrasi ke Raya sehingga bertemu dengan Raja Nagur dan dijadikan marga Saragih Garingging।[5] Begitupun marga Purba Tambak, disebutkan berasal dari penduduk daerah Pagaruyung yang bermigrasi ke daerah Natal, kemudian ke Singkel, hingga tiba di daerah Tambak, Simalungun। Keturunannya kemudian menikah dengan keturunan Raja Nagur dan mereka dijadikan sebagai bagian dari Purba, yaitu Purba Tambak।[6] Marga Damanik juga disebut sebagai pendatang yang menikah dengan keturunan Tuan Silampuyang yang bermarga Saragih dan kemudian diberi marga.


disadur oleh: David Purba (dari berbagai sumber)


Damanik

 1. Damanik Barita

 2. Damanik Bayu

 3. Damanik Gurning

 4. Damanik Limbong

 5. Damanik Malau

 6. Damanik Rampogos

 7. Damanik Sarasan

 8. Damanik Soula

 9. Damanik Tomok

 10. Damanik Usang

 
Saragih

 1. Saragih Dajawak

 2. Saragih
Garingging

 3. Saragih Munthe

 4. Saragih Sidauruk

 5. Saragih
Simanihuruk

 6. Saragih Simarmata

 7. Saragih
Sitanggang

 8. Saragih Sitio

 9. Saragih Sumbayak

 
Purba

 1. Purba Girsang

 2. Purba Pakpak

 3. Purba Siboro

 4. Purba Sidadolog

 5. Purba Sidagambir

 6. Purba Sidasuha
(Dasuha?)

 7. Purba Sigumonrong

 8. Purba Tambak

 9. Purba Tambun
Saribu

 10. Purba Tanjung

 11. Purba Tondang

 
 Sinaga

 1. Sinaga Dahihoyong Bodat

 2. Sinaga Dahihoyong Hataran

 3. Sinaga Sidahalogan

 4. Sinaga Sidahapintu

 5. Sinaga Sidasuhut

 6. Sinaga Sihaloho

 7. Sinaga Simaibun (Simaibung?)

 8. Sinaga Simandalahi

 9. Sinaga Simanjorang

10. Sinaga Sipayung

11. Sinaga Sitopu

 

Sumber: Intisari SEMINAR KEBUDAYAAN SIMALUNGUN (PERTAMA)

Yayasan

Museum

Simalungun
Pematang Siantar, Pematang Siantar, 1973


Klik disini untuk melanjutkan »»

KUMPULAN UMPASA SIMALUNGUN

.
0 komentar

KUMPULAN UMPASA SIMALUNGUN

 
 1. Urat ni gatap tano, rongging marsiranggoman

     Age pe padao-dao,Tondyttai tong marsigomgoman

 2. Ia bagod i nakkih, ilambung ni sampuran

     Ia jaman on jaman canggih, ulang lupa hubani Tuhan

 3. Halambir ni sindamak, ikuhur dop ibola

     Sinaha pe nini halak, ulang lupa bani horja

 4. Juma ni Tigarunggu, tubuhan lata-lata

     Rajin ma hita marminggu, ase tong-tong ihasomani Tuhanta

 5. Sinjata ni Indonesia, mariam dohot mortir

     Andohar Indonesia jaya,Rakyat ni pe homa makmur

 6. I lambung passa-passa, Tubu bonani tobu

     Age aha pe namasa,Hita ulang mahua

 7. Ratting ni hayu bor-bor, ibaen hu pingging pasu

     Anggo rajinmartonggo, Jumpahan pasu-pasu

 8. Boras ibagas supak, ibaen huparasanding

     Horas nasiam namulak, horas homa hanami na tading

 9. Borasni purba tua, iboan hu tiga balata

     Horas ma hita sayur matua, itumpak-tumpak Naibatanta

10.Andor hadukka ma togu-togu ni lombu, togu-togu ni horbo, itogu hu Ajibata

     Horas ma hita sayur matua, patogu-togu pahompu, das mar nini mar nono,

     ipasu-pasu Naibatanta

11. Urat ni nangka, urat ni hotang

       Hujape hita manlangkah, sai dapot-dapotan

 12. Tubuh ma sanggar dohot tobu, dohor hupagar kawat

       Tubuh ma anak pakon boru, jadi jolma na marpangkat

13. Urat ni riba dagei iboan hu Sukadame

       Ulang bei sai marbadai, sai roh ma uhur dame

14. Dalan hua Ajibata, adong do tubuh Pisang

       Anggo domma marrumah tangga, ulang ma adong hata mandok sirang

15. Tubu sanggar dohot tobu i dolok-dolok

      Tubu ma anak pakon boru na mok-mok.

16. Arirang ni palia, madek-dek hu bong-bongan

      Age adong parsalisihan, ulang mar sidom-doman

17. Tubu ma sanggar dohot tobu, parasaran ni piduk

      Tubu ma anak pintar dohot boru na bisuk

18. Tubuh ma silanjuyang, itagil lang ra melus

     Aha pe lang na hurang, anggo marhasoman Jesus

19. Sada sikortas kajang, padua kortas hulipat

      Sadokah ham marlajang, sada ham do hansa na hudingat.

20. Habang ma anduhur, sogop hu goring-goring

      Anggo pusuk uhur, eta ham mandoding-doding

21. Hondor ma langge mu, i dolok si Marsolpah

     Holong ni ateimu, ingaton ku do ai madokah

22. Sihala sibarunje, ruak sihala bolon

      Santabi ma bani umbei, dear nalang tarhorom

23. Itampul bulu lihom, bulung ni irantingkon

     Hatamu do masihol, hape uhur mu manadingkon

24. Sedo lak-lak hasundur, haronduk ni buluk ku

     Sedo halak hu sukkun, harosuh ni uhurhu

25. Tumpak ni piring ledeng, paledang-ledang pahu

      Loja do hapeni inang, pagodang-godang kon au

26. Laklak itallik-tallik, i lambung ni pea-pea

     halak na tahan marsik, ujungni jadi jolma na hasea

27. Lak-lakni tamba tua, hoppa mambuat kuah

     Pasangap orangtua, tong-tong dapotan tuah

28. Lampuyang sakaranjang, bulung ni seng sadiha

     Akkula do marganjang, uhur seng ope sadiha

29. Marboras ma halawas, i jual hu Belanda

     Horas ma nasiam martugas, haganupan wartawan

30. Haporas ni silongkung, i huning i tubai

     Anggo domma harosuh, ulang isumengi, lang ibadai

31. Isuan ma timbaho, isuan manoran-noran

     Paubah ma parlaho, ulang songon sapari, ase iharosuhkon hasoman

32. Talaktak porling, sogop i bukkulan ni sopo

      Indahan ni mata do borngin, ulang lalap ibodei lapo

33. Ulang ihondor gumba, timbaho sihondoran

     Ulang martonggo rupa, parlaho do sitonggoran

34. Anduhur pinurputan, tading iparsobanan

     Anggo uhur tinurutan, lang mar parsaranan

35. Rage anak ni bintang, rage so hapulhitan

     Buei do hata namantin, paima tangan dapotan

36. Timbaho ni simarban, ulang mago sanrigat

     Age lingot panonggor, ulang lupa pardingat

37. Boras sabur-saburan, iboban ni pinggan pasu

     Horas hita ganupan, sai jumpahan pasu-pasu

38. Itarik gula, itanik songon tali

     Age pe otik nasinari, ulang marsurei

39. Irlak-irlak ma senter, itoru ni durian

     Lang adong labuni jenges, anggo talu do ujian

40. Initak ma sambor-bor, boras ronggit-ronggitan

     Ijon hita manortor, ulang be borit-boritan

41. Lang be tartalgis hon, pagaman ma na ronggos hon

     lang be tartangishon, paganan ma na tor-torhon

42. Habang ma kapal terbang, mamboan pinggan pasu

     Age daoh ham marlajang, ulang lupa ham hubakku.


sumber:

HAK CIPTA : Ny.St.B Manihuruk/Anta br Damanik

GKPS Hutaimbaru, Kecamatan Selimakuta, Kabupaten Simalungun





Klik disini untuk melanjutkan »»

Sabtu, 15 November 2008

Tulisan Parmasi

. Sabtu, 15 November 2008
0 komentar

Karya Anak Parmasi

Klik disini untuk melanjutkan »»
 
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com